FRANCHISEKAH FRANCHISEKU?
04/26/2007, by Bije Widjajanto

Suatu sore saya mengunjungi sebuah Mal baru di Jakarta Selatan. Walaupun mal tersebut tergolong baru tetapi suasana yang teramati benar-benar hidup. Hampir semua lokasi yang tersedia telah terisi oleh tenant yang juga menunjukkan aktivitas transaksi dengan penunjung mal. Bisnis yang dijalankan di sana beraneka ragam, mulai dari ritel, fashion, salon, stationary, toko bunga, studio foto, outlet telepon seluler, counter makanan dan minuman ringan, bakery, kedai kopi, restoran dll. Yang menarik perhatian, ketika saya mencoba menghitung, lebih dari 60% bisnis yang dijalankan di mal tersebut adalah outlet-outlet franchise baik internasional maupun lokal.

Bisnis franchise selama sekitar empat tahun terakhir memang mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Saya yakini, Robert T. Kiyosaki lewat bukunya Cashflow Quadrant, yang di antaranya merekomendasikan franchise sebagai salah satu jalan untuk membangun pasive income, turut bertanggung jawab dalam maraknya bisnis franchise di Indonesia. Data dari berbagai sumber yang saya himpun, saat ini jumlah franchise lokal telah mencapai angka di atas 300. Dari jumlah tersebut lebih dari setengahnya baru berumur kurang dari 5 tahun. Apabila ditambah franchise internasional, baik yang punya perwakilan di Indonesia maupun tidak, maka jumlahnya bisa melebihi angka 500. Belum lagi jumlah outlet dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Sungguh pertumbuhan yang spektakuler.

Di tengah hiruk-pikuk bisnis franchise yang sedang terjadi, saya melihat ada hal yang perlu dicermati, yaitu tingkat keberhasilan. Berbagai pihak menyatakan tingkat keberhasilan franchise di Indonesia relatif rendah dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Di Amerika Serikat, negara yang sudah berpengalaman dalam bidang franchise ini, tingkat keberhasilan franchise di sana bisa mencapai di atas 90%. Apa yang membuat tingkat keberhasilan mereka lebih tinggi?

Salah satu penyebab kurangnya tingkat keberhasilan franchise di Indonesia, menurut saya adalah kurang lengkapnya pemahaman para franchisee maupun franchisor terhadap sistem franchise itu sendiri. Franchise adalah duplikasi sukses dari sebuah operasi bisnis. Berikut ini adalah dua syarat utama sebuah bisnis bisa di-franchise-kan.

A. Bukti Keberhasilan
Sebuah bisnis didirikan tentu bertujuan menjadi sukses, baik dalam hal manfaat, proses produksi, distribusinya dan yang paling penting adalah secara finansial. Bisnis yang terbukti berhasil, mempunyai peluang untuk di-franchise-kan. Keberhasilan sebuah bisnis biasanya menyulut keinginan investor lain untuk menikmati sukses yang sama. Berikut ini adalah tiga hal yang saya jadikan parameter kesuksesan sebuah bisnis:

1. Profitabilitas, bisnis yang telah terbukti mencapai pengembalian modal dan mampu menghasilkan keuntungan finansial, minimal selama tiga tahun terakhir. Investor yang cermat tidak akan menanamkan modal pada bisnis yang belum jelas menguntungkan. Di negara yang menerapkan undang-undang franchise, franchisor harus menunjukkan laporan keuangan 3 tahun berturut-turut kepada calon franchisee, sehingga mereka bisa menilai profitabilitasnya sebelum memutuskan untuk membeli franchise.

2. Uniqueness (keunikan), produk atau jasa yang dipasarkan harus mempunyai keunikan yang tidak gampang ditiru. Keunikan membuat franchisee lebih mudah memasarkan produk atau jasa mereka, karena berbeda dengan pesaingnya. Dengan kata lain, keunikan bisa menciptakan pasar tersendiri bagi produk yang bersangkutan.

Sebaliknya, tanpa keunikan produk akan menjadi generic yang sulit merebut pasar dan mudah terjebak dalam perang harga. Sebuah outlet franchise yang berhasil, bisa dengan mudah kalah bersaing dengan outlet non-franchise karena tidak memiliki keunikan. Dalam keadaan seperti ini, franchisee berada dalam posisi lemah karena mereka terbebani biaya royalty sedangkan pesaing non-franchise tidak.

3. Brand, kekuatan brand sangat penting dalam bisnis franchise. Brand merupakan alat yang vital untuk mengomunikasikan produk kepada pasar apabila hendak membuka outlet baru. Tanpa brand yang jelas, sulit menjelaskan kepada pasar karena pasar memang tidak tahu nama produk, bahkan ketika produk tersebut sangat berhasil. Apabila outlet bisnis dibuka di wilayah yang mengenal brand-nya berpeluang sukses jauh lebih besar daripada kalau dibuka di wilayah yang tidak mengenal brand yang bersangkutan.

B. Sistem Franchise
Sebuah sistem franchise diperlukan untuk memungkinkan franchisee mengoperasikan outlet bisnisnya sama seperti franchisor. Tujuan akhirnya adalah franchisee dapat mencapai sukses seperti franchisornya. Komponen sistem franchise adalah dua hal berikut ini:

1. Standard Operation Procedure (SOP). SOP dibuat untuk mengatur semua proses mulai dari produksi, distribusi sampai tata administrasi dan keuangan bisnis yang bersangkutan. Selain lengkap/menyeluruh, SOP harus bersifat documented, transferable dan measurable. Dengan demikian setiap orang bisa mempelajari dan menerapkan secara mandiri seluruh operasi bisnis. SOP yang baik akan menjadikan franchisor tidak terlibat dalam kegiatan teknis operasional franchisee.

2. Support (Dukungan). Dukungan franchisor diperlukan untuk memastikan franchisee mengoperasikan bisnis sesuai dengan SOP yang dibakukan. Sistem dukungan franchise yang baik akan membuat franchisee tergantung pada franchisor untuk kelangsungan bisnisnya. Dukungan ini meliputi training, supply bahan baku, asistensi, konsultasi, monitor, reporting dan evaluasi. Sifat dukungan franchise adalah ekstensif dan fleksibel.

Selanjutnya, saya ingin menghubungkan kepemilikan syarat utama di atas dengan terminologi yang familier dengan pemberian franchise telinga masyarakat franchise Indonesia. Ada tiga terminologi yang sering dipakai yaitu franchise, business opportunity dan business concept.

1. Franchise, apabila franchisor telah mempunyai bukti keberhasilan bisnis dan juga sudah memiliki sistem franchise yang lengkap.
2. Business Opportunity, apabila pihak franchisor telah mempunyai bukti keberhasilan bisnis tetapi sistem franchise belum ada atau tidak lengkap.
3. Business Concept, apabila franchisor belum mempunyai outlet bisnis yang berhasil, tetapi sudah mempunyai sistem franchise yang lengkap.

Dari tiga definisi di atas, saya ingin mengajak masyarakat franchise di Indonesia, para franchisor dan para franchisee, untuk melihat kembali keberadaan bisnis “franchise” yang sedang di tekuni selama ini. Masuk dalam kategori mana? Sudahkan bisnis tersebut benar-benar bisa dikatakan franchisee? Saya mengamati berdasarkan syarat di atas, saat ini franchise lokal di Indonesia sebagian besar adalah business opportunity.

Saya punya sebuah harapan bahwa ketika masyarakat franchise di Indonesia lebih memahami dan menyadari pentingnya dua syarat utama yang saya paparkan di atas, maka akan mendorong tingkat keberhasilan franchise pada tingkat yang lebih tinggi. Sementara ini banyak pihak mengakui, bahwa menyusun sistem franchise yang baik bukanlah pekerjaan sederhana. Dibutuhkan kemauan dan keahlian tertentu untuk bisa menyusunnya. Namun demikian hal ini tentu tidak menjadi kendala apabila yang diinginkan adalah keberhasilan bisnis jangka panjang.

Dikaitkan dengan rencana diperbaruinya peraturan formal tentang operasi bisnis franchise, baik pada tingkat Peraturan Pemerintah (PP) ataupun lebih yang tinggi lagi menjadi Undang Undang (UU), tidak ada yang salah apabila masyarakat franchise lebih dahulu memperbaiki sistemnya. Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain: melengkapi dan memperbaiki SOP, meningkatkan dukungannya kepada franchisee dan memperbaiki aturan dalam perjanjian franchise. Pada akhirnya ketika semuanya menjadi baik, pihak yang diuntungkan adalah seluruh masyarakat, yaitu franchisor, franchisee dan konsumen. Ketika konsumen puas, franchisee menjadi puas dan akhirnya franchisor juga menjadi puas.

Bije Widjajanto
Senior Consultant di Ben WarG Consulting
e-mail: [email protected]